Rabu, 11 September 2013

IRONI PERTANIAN NEGERIKU

Indonesia telah berkembang dari agraris ke industri dan ditandai dengan keberadaannya dalam kelompok G20. Pergeseran tersebut juga tampak dari berkurangnya minat kerja di sektor pertanian. Berkurangnya minat kerja sektor pertanian dapat dilihat dari asal pekerja migran di kota besar atau yang pergi ke luar negeri. Pekerja bermigrasi mungkin karena pekerjaan rumahan di kota atau di luar negeri lebih jelas hasilnya secara ekonomi. Bukti kedua adalah penurunan minat mahasiswa memasuki Fakultas Pertanian yang mendorong beberapa program studi  harus digabungkan menjadi satu. 
Minat kerja sektor pertanian menurun disebabkan antara lain oleh karena: 1) lapangan kerja sektor pertanian tidak menarik dibandingkan dengan sektor lainnya, 2) agroindustri yang berkembang hanya perkebunan besar, industri sektor pertanian lainnyaseperti industri benih dan industri jasa belum banyak berkembang. Akibatnya lapangan kerja bagi para alumni Fakultas Pertanian relatif sempit, 3) perhatian pada sektor pertanian yang rendah.
Salah satu penyebab pekerjaan sektor pertanian kurang diminati adalah karena pekerjaan di sektor ini bersifat fluktuatif dan membutuhkan pekerja musiman. Pekerja musiman harus mencari alternatif kerja lainnya. Agroindustri yang belum banyak tersedia menyebabkan kebutuhan kerja pada sektor ini juga sedikit. Hal ini menjadi membuat calon mahasiswa kurang berminat memasuki Fakultas Pertanian. 
Pengembangan sektor pertanian membutuhkan investasi yang besar dalam hal infrastruktur pendukung seperti jalan raya dan sistim irigasi karena kawasan pertanian umumnya jauh dari pusat kota. Ketiga faktor yang diungkapkan di muka memberi andil  terhadap kehebohan melambungnya harga beberapa komoditas pertanian. Harga daging, bawang merah, bawang putih, dan cabe melambung tinggi menjelang lebaran lalu. Sekarang, giliran kedelai yang melompat Rp. 2000,. per kilo yang mendorong produsen tahu dan tempe mogok dan berdemonstrasi. 
Lonjakan harga komoditas pertanian menimbulkan tudingan : "Itu permainan kartel! Mungkin tudingan itu benar, sebab lonjakan harga hanya terjadi di negeri ini. Lonjakan harga di negeri tetangga tidak diberitakan, malah menjadi asal barang selundupan. Inilah ironi di negeri gemah ripah loh jinawi. Ibu rumah tangga pusing mengatur keuangan keluarga, produsen tahu dan tempe turun ke jalan. Yang jelas, keluhan tidak pernah menyelesaikan persoalan. Solusi yang tersedia adalah bangkit dan memberi perhatian pada sektor pertanian. Dengan perhatian yang diberikan, kehebohan seperti ini tidak berulang kembali di masa yang akan datang. Mungkin kita perlu melihat sejarah tentang orang Belanda yang berani datang ke Nusantara untuk membeli rempah-rempah. Mereka tidak mengeluhkan infrastruktur yang ada, tetapi mereka membangu infrastruktur yang dibutuhkan seperti rel kereta api, jalan raya, irigasi, dan lain-lainnya. Untuk distribusi barang, mereka menginformasikan jadwal kedatangan kapal yang akan mengangkut komoditas sampai ke pedalaman. Sejarah yang baik tersebut perlu kita contoh untuk membangun sentra produksi.
Pembenahan sektor pertanian yang telah dicontohkan oleh Belanda tersebut perlu dilaksanakan agar kita tidak lagi heboh. Petani siap menyediakan semua komoditas pertanian yang dibutuhkan asalkan  mereka diberi bimbingan pengetahuan, dana, dan fasilitas (infrastruktur) tersedia. Jika mereka dibiarkan berjuang sendiri, kita pun ikut menanggungnya dalam bentuk barang tidak tersedia dan harganya melompat diluar perkiraan kita. Mengikuti semboyan penikmat sepak bola, ayo berseru:" Indonesia Bisa! Maka, petanipun akan menyambutnya: "Siap! Harapan kita, ironi negeri pertanian pun berubah menjadi sukses negara industri pertanian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar